Tanjungpinang, mataperistiwa.id // Rokok ilegal adalah rokok yang beredar di wilayah Indonesia baik yang berasal dari produk dalam negeri maupun impor yang tidak mengikuti peraturan yang berlaku di wilayah hukum Indonesia.
Adapun ciri-ciri rokok ilegal antara lain tidak dilekati dengan pita cukai (rokok polos), dilekati dengan pita cukai palsu, dilekati dengan pita cukai bekas, atau dilekati dengan pita cukai yang tidak sesuai peruntukannya.
Penjualan rokok ilegal dapat menimbulkan dampak negatif bagi berkembangnya industri rokok nasional, karena terdapat ketidakadilan dan ketidakseimbangan persaingan usaha di pasar serta banyak dampak negatif lainnya.
Operasi Gempur Rokok Ilegal diperlukan sebagai bentuk pengawasan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat di pasar.
Menanggapi maraknya penjualan rokok (ilegal) non cukai di wilayah Kepulauan Riau (Kepri), Ketua Dewan Penasihat Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Perlawanan Perdagangan Ilegal (DPP LPPI) Provinsi Kepri Andi Cori Patahuddin angkat suara.
Menurut pria yang akrab disapa Cori ini, sebab peredaran rokok non cukai di wilayah Kepri semakin tumbuh subur, diduga adanya keterlibatan oknum Aparat Penegak Hukum (APH) yang bermain, terlebih pihak Bea dan Cukai (BC).
Dugaan keterlibatan oknum APH dan BC tersebut, kata Cori, terlihat dari ‘mulusnya’ pendistribusian sejumlah merek rokok non cukai, seperti Rexo Bold, Manchester, Luffman, Rave, HD, H-Mild, Ofo Bold, Maxxis, Xpro, di sejumlah daerah.
“Sangat mudah mendapatkan jutaan batang rokok non cukai ini. Ini mengindikasikan, bahwa oknum APH, lebih-lebih oknum BC diduga membekingi peredaran rokok ilegal ini,” ujar Cori, Senin, 6 Maret 2023.
Pada Mataperistiwa.id Cori mengungkapkan, awal mula munculnya rokok non cukai ini diawali dengan Undang-Undang 44 Tahun 2007 dan terbitnya Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan dan Kepelabuhan Bebas dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kepabeanan atau Perpajakan dan Cukai.
“Di sinilah awal mulanya Provinsi Kepri sebagai provinsi surga-nya rokok-rokok ilegal, sehingga beredar disejumlah wilayah yang berada di Sumatera,” ujar Cori.
Cori mengatakan, Provinsi Kepri mendapatkan kuota rokok non cukai sekian persen, namun, akibat dari penyimpanan kuota rokok ini, Kementerian Keuangan melalui Badan Pengusahaan (BP) Batam justru telah menghentikan pemberian kuota rokok tersebut.
“Badan Pengusahaan Batam telah menghentikan pemberian kuota rokok non cukai yang diizinkan beredar di Kota Batam, Kepulauan Riau, sejak Juni 2015, kenapa demikian? Karena memang kuota rokok ini disalahgunakan,” kata Cori.
Sementara, sambung Cori, untuk wilayah Kabupaten Bintan dan Kota Tanjungpinang yang meliputi Senggarang dan Dompak sejak 2019 lalu telah dihentikan pemberian kuota rokok khusus kawasan bebas tersebut.
“Sebab, pada saat itu terbukti Bupati Bintan (Apri Sujadi) mendapatkan jatah dalam setiap produksi kuota rokok itu,” ungkap Cori.
“Bahkan dalam dakwaaan Jaksa KPK pada saat itu, ada sejumlah nama-nama lain, terutama petinggi Bea Cukai itu sendiri. Harusnya, sejak 2019 tidak ada lagi kuota rokok khusus kawasan bebas itu, namun faktanya, justru rokok-rokok non cukai ini semakin subur dan bahkan muncul produk-produk baru,” jelas Cori.
Cori juga menyayangkan, tidak adanya tersangka ataupun terdakwa yang diseret ke pengadilan selain Apri Sudjadi dan Saleh Umar selaku Plt Kepala BP Kawasan Bintan waktu itu.
“Ini mengindikasikan masih banyak oknum APH lebih-lebih Bea Cukai bermain dalam peredaran rokok ilegal ini,” kata Cori.
Cori juga mengaku, akan menyerahkan sejumlah merek rokok ilegal kepada Kementerian Keuangan serta mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, untuk menindak lanjuti keterlibatan pihak lain dalam peredaran rokok (ilegal) non cukai di Kepri dan wilayah lainnya.
Reporter: Leni/Red***